Bandung After Rain : Rumah Tumbuh
Beberapa orang datang ke hidupmu untuk tinggal.
Beberapa datang hanya untuk mampir.
Tapi yang paling membekas… adalah mereka yang datang sebentar, lalu pergi saat kamu sedang butuh-butuhnya pegangan.
Aku menulis ini di sudut kamar kos, jendela terbuka lebar, angin Bandung sore masuk tanpa permisi. Langit Bandung masih sama seperti sejak pertama kali aku datang ke kota ini: abu-abu, tapi memeluk. Ditemani sorak - sorai warga bandung yang sedang merayakan persib juara.
Sebentar lagi aku lulus. Satu fase hidup akan selesai.
Hidup merantau tidak pernah sederhana.
Ada mimpi yang harus dikejar, tanggung jawab yang nggak bisa ditinggal. Aku sibuk menyiapkan masa depanku..
April lalu, hal-hal terjadi. Hingga merusak tempo keseharianku.
Tidak semua hal harus pergi bersamaan.
Pertengahan Mei, menarik diri dari realita. Mengasingkan diri dari kehidupan perkotaan ini.
Selama itu, aku sadar segala sesuatu butuh waktu dan ruang.
Dua hal yang nggak bisa kita bagi dengan cukup.
Di Ujung Mei ini, aku belajar mengikhlaskan.
Meski banyak hal tidak berjalan seperti yang kuharapkan, aku memilih untuk tetap tinggal dan merawat apa yang tersisa.
Aku tetap di sini—di Bandung, kota yang sudah seperti rumah kedua bagiku.
Kota yang menyaksikan aku patah, tapi juga belajar bangkit.
Aku akan tetap tinggal, mengejar karirku, meniti masa depan yang aku impikan sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di kota ini.
Bertumbuh. Berjuang. Sampai tua, di kota ini (Bandung).
Mengusahakan rumah dan karir impian ku di kota Bandung ini.
Bandung, 24 Mei
Komentar
Posting Komentar